Kamis, 13 Agustus 2009

Kabar Dari Kompas 13 Agustus 2009



BATIK BAKARAN

Perempuan-perempuan Penerus Nyi Danowati

Kamis, 13 Agustus 2009 | 05:24 WIB

HENDRIYO WIDI

Miyati (50), warga Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, sudah sejak kecil membatik. Namun, ia tidak pernah berpikir mendirikan usaha batik sendiri lantaran tidak ada modal.

Miyati yang berasal dari keluarga nelayan dan buruh tani itu lebih senang membatik ikut orang. Maka tidak mengherankan jika ia selalu berpindah-pindah tuan atau bahkan tidak bekerja karena tidak ada lowongan membatik.

Terakhir kali, terhitung sejak 15 tahun lalu, ibu beranak dua itu bekerja di industri batik rumah tangga ”Tjokro” milik Bukhari Wiryo Satmoko (58), generasi kelima pembatik tulis bakaran. Ia mensyukuri berkat keterampilan membatik itu perekonomian keluarganya tidak tertatih-tatih.

”Coba kalau tidak punya keterampilan itu, saya tidak akan bisa membantu suami menghidupi keluarga,” kata istri buruh ngedos atau panen padi yang mendapatkan upah Rp 30.000 per hari, Minggu (19/4) di Juwana.

Dalam sebulan, Miyati mengantongi pendapatan rata-rata Rp 900.000. Hasil membatik itu ia gunakan untuk menyekolahkan anak dan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Parmi (48), warga Desa Bakaran Wetan, mengakui pula kalau membatik itu meringankan tanggungan ekonomi keluarga. Istri buruh serabutan itu semula tidak bekerja atau menjadi ibu rumah tangga saja.

Situasi perekonomian keluarga Parmi tidak karuan lantaran suaminya kadang kala mendapat pekerjaan, tetapi kadang tidak. Dalam sebulan, suaminya rata-rata bekerja selama 15-20 hari saja. ”Pendapatannya per hari Rp 25.000-Rp 30.000. Hasil itu sangat pas-pasan bahkan kerap tidak cukup untuk membiayai sekolah anak dan hidup sehari-hari,” kata ibu tiga anak itu.

Kondisi tersebut memaksa Parmi kembali menekuni batik yang dahulu pernah dilakukan saat kecil. Ia bekerja di industri rumah tangga batik Tjokro sejak tiga tahun lalu.

Meski harus bersusah payah mengingat kembali keterampilan yang dahulu pernah digelutinya, Parmi tidak pernah putus asa. Anak-anak menjadi semangat Parmi untuk menggulati batik. ”Tidak ada setengah tahun, saya sudah diangkat sebagai karyawan harian. Pasalnya, hasil batikan saya dinilai bagus dan rapi,” kata Parmi.

Keterampilan membatik tulis bakaran di Desa Bakaran Wetan itu punya sejarah yang melegenda. Keterampilan itu tak lepas dari buah didikan Nyi Danowati, penjaga museum pusaka dan pembuat seragam prajurit pada akhir Kerajaan Majapahit abad ke-14.

Waktu itu, Kerajaan Majapahit yang diperintah Girindrawardhana yang bergelar Brawijaya VI (1478-1498) berada dalam desakan Kerajaan Demak yang menganut Islam. Sejumlah pengikut Brawijaya yang menganut Hindu-Buddha memilih hengkang dari Majapahit karena tidak mau masuk Islam.

Salah satu pengikut Brawijaya itu adalah Nyi Danowati. Bersama tiga saudaranya, yaitu Ki Dukut, Kek Truno, dan Ki Dalang Becak, perempuan yang konon berparas ayu itu pergi menyusuri pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Nyi Danowati dan dua saudaranya berpisah dengan Ki Dalang Becak. Ia melanjutkan perjalanan hingga ke kawasan rawa-rawa yang penuh pohon druju atau sejenis semak berduri, sedang Ki Dalang Becak menetap di Tuban.

Bersama Ki Dukut, Nyi Danowati membuka lahan di daerah rawa-rawa itu sebagai tempat tiras pandelikan atau tempat persembunyian. Lantaran Ki Dukut itu seorang lelaki, ia mampu membuka lahan yang sangat luas, sedangkan lahan Nyi Danowati sempit.

Tak kurang akal, Nyi Danowati mengadakan perjanjian dengan Ki Dukut. Ia meminta sebagian lahan Ki Dukut dengan cara menentukan batas lahan melalui debu hasil bakaran yang terjatuh di jarak terjauh.

Ki Dukut menyetujui usulan itu. Jadilah kawasan Nyi Danowati lebih luas sehingga sebagian kawasan diberikan kepada Kek Truno yang tidak mau babat alas. Daerah milik Nyi Danowati dinamai Bakaran Wetan, sedang milik Kek Truno bernama Bakaran Kulon.

Adapun Ki Dukut yang kawasannya sangat sempit itu menamakan daerah itu Pedukuhan Alit atau Dukutalit. Ketiga desa itu sampai sekarang tetap ada dan saling berbatasan satu dengan yang lain. Secara lebih luas lagi, kawasan itu dikenal sebagai Drujuwana (hutan druju) atau Juwana.

Di Bakaran Wetan itulah Nyi Danowati membangun permukiman baru. Sejumlah warga yang semula tidak mau menempati daerah berawa-rawa itu mulai tertarik membangun permukiman di sekitar rumah Nyi Danowati.

Agar tidak dicurigai orang bahwa ia pemeluk agama Hindu-Buddha, Nyi Danowati mengubah nama menjadi Nyai Ageng Siti Sabirah. Ia juga mendirikan masjid tanpa mihrab yang disebut Sigit. Di pendopo dan pelataran Sigit itulah Nyi Danowati mengajar warga membatik.

Pengusaha batik ”Tjokro” sekaligus sesepuh masyarakat Desa Bakaran Wetan, Bukhari, mengatakan, motif batik yang diajarkan Nyi Danowati adalah motif batik majapahit. Misalnya, sekar jagat, padas gempal, magel ati, dan limaran.

”Motif khusus yang diciptakan Nyi Danowati sendiri adalah motif gandrung. Motif itu terinspirasi dari pertemuan dengan Joko Pakuwon, kekasihnya, di tiras pandelikan,” katanya.

Bukhari mengisahkan, waktu itu Joko Pakuwon berhasil menemukan Nyi Danowati. Kedatangan Joko Pakuwon membuat Nyi Danowati yang sedang membatik melonjak gembira sehingga secara tidak sengaja tangan Nyi Danowati mencoret kain batik dengan canting berisi malam.

Coretan itu membentuk motif garis-garis pendek. Di sela-sela waktunya, Nyi Danowati menyempurnakan garis-garis itu menjadi motif garis silang yang melambangkan kegandrungan atau kerinduan yang tidak terobati.

”Pasalnya, Nyi Danowati tahu Joko Pakuwon tidak perjaka lagi atau berselingkuh saat ia pergi meninggalkan Majapahit,” kata Bukhari.

Menurut Bukhari, motif-motif khas itu perlu mendapat perlakuan khusus dalam pewarnaan. Pewarnanya pun harus menggunakan bahan-bahan alami. Misalnya, kulit pohon tingi yang menghasilkan warna coklat, kayu tegoran warna kuning, dan akar kudu warna sawo matang.

Sayangnya, bahan-bahan pewarna itu sudah sulit ditemui. Hal itu terjadi sejak zaman kakek Bukhari, Turiman Tjokro Satmoko, generasi ketiga batik tulis bakaran. Waktu itu, batik bakaran menjadi komoditas perdagangan antarpulau melalui Pelabuhan Juwana dan menjadi tren pakaian para pejabat Kawedanan Juwana.

”Meskipun kesulitan bahan pewarna, batik tulis bakaran banyak peminat. Kondisi itu menyebabkan permintaan tenaga kerja cukup besar. Kakek saya dapat menggandeng sekitar 50 ibu rumah tangga untuk membatik,” kisah Bukhari.

Kini, batik tulis bakaran dikembangkan empat pengusaha, satu pengusaha di Bakaran Wetan, dan tiga yang lain di Bakaran Kulon. Setiap pengusaha rata-rata menggandeng 50 karyawan yang berasal dari ibu-ibu rumah tangga atau remaja putus sekolah.

Selain melestarikan motif Nyi Danowati, mereka juga mengembangkan aneka macam motif kontemporer, antara lain motif pohon druju (juwana), gelombang cinta, kedele kecer, jambu alas, dan blebak urang. Harga per kain batik Rp 100.000-Rp 1,5 juta.

Bukhari sendiri setiap bulan meraih omzet Rp 40 juta-Rp 60 juta dengan pemasaran sampai Bali dan Jakarta. Tentu saja Semarang, Blora, Rembang, juga jadi pasarnya, dan sesekali ke Kanada. ”Tanpa istri saya, Tini (51), dan para ibu rumah tangga serta para perempuan putus sekolah, batik bakaran tidak akan bermasa depan cerah. Merekalah yang mengembangkan batik itu selagi suami pergi ke laut, mengolah tambak dan sawah, serta menjadi buruh,” kata Bukhari.