Kamis, 29 Januari 2009
"Tjokro" Griya Batik Tulis Bakaran
Griya Batik Tulis Tjokro
Untuk pembelian online wilayah jabodetabek dapat menghubungi :
Ibu Nurbidawati
Hp. 085210145235
Email : nurbidawati@gmail.com
Selasa, 27 Januari 2009
Sejarah Batik Bakaran Wetan
Batik Bakaran,yang sekarang terpusat pada kedua desa yaitu Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon yang masuk kedalam wilayah kecamatan Juwana sudah ada sekitar abad ke 14 dan berhubungan dengan seorang penjaga benda–benda seni kerajaan Majapahit yang bernama Nyi Siti Sabirah (Nyi Danowati) yang ketika itu datang di Desa Bakaran Wetan karena misi pelarian untuk mencari tempat persembunyian, saat beliau dikejar – kejar oleh tentara Islam karena keruntuhan kerajaan majapahit yang terdesak oleh kekuasaan kerajaan Islam Pertama di Pulau jawa yaitu Demak.
Dan pada akhirnya beliau bersembunyi di Desa Bakaran Wetan dan dalam penyamarannya beliau membuat langgar tanpa mighraf yang sampai sekarang disebut Sigit yang bertujuan supaya beliau dikira sudah memeluk agama Islam.Semasa persembunyiannya di Desa Bakaran Wetan, kegiatan beliau sehari–hari adalah membatik sekaligus mengajarkan keahliannya membatik,dengan keahliannya tersebut beliau mengajarkan cara membatik kepada anak cucunya sehingga keahliannya tersebut menurun ke anak cucunya sampai sekarang ini.
Dan pada akhirnya beliau bersembunyi di Desa Bakaran Wetan dan dalam penyamarannya beliau membuat langgar tanpa mighraf yang sampai sekarang disebut Sigit yang bertujuan supaya beliau dikira sudah memeluk agama Islam.Semasa persembunyiannya di Desa Bakaran Wetan, kegiatan beliau sehari–hari adalah membatik sekaligus mengajarkan keahliannya membatik,dengan keahliannya tersebut beliau mengajarkan cara membatik kepada anak cucunya sehingga keahliannya tersebut menurun ke anak cucunya sampai sekarang ini.
Minggu, 18 Januari 2009
Selasa, 13 Januari 2009
...tentang Tjokro Batik Tulis Bakaran
Tjokro Batik Tulis berdiri pada tahun 1977, Nama "Tjokro" Berasal dari Nama kakek kami yaitu "Tjokro Satmoko", diawali warisan budaya batik tradisional desa Bakaran dan berawal dari usaha kecil yang dirilis oleh Bpk Bukhari Wiryo Satmoko untuk melestarikan budaya dan seni batik tulis di desa Bakaran, kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kami dari awalnya memang sudah memiliki warisan dari nenek moyang kami sebuah batik yang memiliki ciri dan motif khas yang tidak dimiliki batik-batik lain di Indonesia. Ciri yang mendominasi adalah warna hitam,biru tua ,putih dan coklat tua atau istilah jawanya "gosong" pada warna sogan pada batik klasik dan warna cerah pada batik modern, sedangkan motif dan coraknya merupakan corak asli daerah yang banyak dipengaruhi budaya kerajaan majapahit. Batik Tulis Tjokro juga menonjolkan aspek-aspek budaya pesisir utara jawa.
Batik Tulis Tjokro mampu menjaga eksistensi dalam industri Batik dengan tetap menjaga kualitas produk. Dengan penggunaan bahan-bahan dasar berkualitas tinggi serta bahan pewarnaan sintesis modern, sehingga produk batik yang kami hasilkan mampu awet, warna tidak cepat pudar dan tidak mudah sobek tanpa mengurangi hasil batik yang elegan dan bernilai seni tinggi.
Tjokro Batik Tulis Bakaran merupakan salah satu budaya batik asli warisan bangsa Indonesia.
Outlet & Office:
Jln Mangkudipuro 196
Bakaran Wetan RT 2 Rw 2
Juwana-Pati
Jawa Tengah
(0295)471660/08122936231
Senin, 12 Januari 2009
...pendiri Tjokro Batik Tulis Bakaran
Bukhari Wiryo Satmoko, pendiri batik tulis 'Tjokro' berasal dan tinggal di jalan Mangkudipuro, No 196, RT 02/RW II, Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Pria yang belum lama menerima anugerah penghargaan berupa anugerah Upakarti kategori Jasa Pelestarian dari Presiden RI pada tanggal 7 Januari 2009. Dia memang selayaknya memperoleh penghargaan atas kerja kerasnya selama ini. Sebuah anugerah di bidang pelestarian seni dan budaya tahun 2008 ini diberikan atas jasa-jasa putra asli daerah. Bukhari memang layak mendapat penghargaan karena dirinya mampu mengangkat batik tulis bakaran, yang menjadi ciri khas kerajinan batik asal Kabupaten Pati. Keuletan, serta kreatifitasnya yang tinggi, membuatnya dirinya mendapat pengakuan publik sejak merintis batik ini tahun 1977.
Terlahir sebagai putra ragil dari 12 bersaudara, pasangan (alm) Sutarsih dan (alm) Panggih Rono Dwiryo ini, Bukhari berhasil mewarisi kepiawaian ibundanya menjadi perajin batik. Sebuah ketrampilan yang makin jarang dimiliki warga Pati sendiri kala itu. Sejak mulai dekat dengan batik pada tahun 1977, boleh dibilang dirinya sempat mengalami masa kejayaan. Kendati batik tulis khas Bakaran ini belum banyak modifikasi pewarnaan dan sebagainya. Pengetahuan tentang batik diperoleh hanya berdasar pengalaman turun temurun. Baru sekitar tahun 1983, Pemkab Pati dalam hal ini Dinas Perdagangan dan Peindustrian Kabupaten Pati membekali para perajin dengan berbagai ilmu perbatikan. Termasuk memberikan penyuluhan dan keterampilan melalui diklat-diklat.
Namun, dirinya juga tak habis mengerti, manakala pada 1983, istrinya yang menimba pengalaman dari pemkab ini, justru usahanya tidak mengalami perkembangan. Baru kemudian setelah tahun 1985 Bukhari sendiri yang mengikuti diklat. Dari sini pula dirinya merasa terpacu untuk mengikuti diklat dan bimbingan yang diberikan. Berbekal dari pengetahuan dan kerja kerasnya tersebut, reputasi batik Bakaran akhirnya secara perlahan mulai terangkat. Membaiknya usaha ini mulai terlihat pada tahun 1994. Bahkan saat itu dirinya sudah memiliki 20 orang karyawan.
Atas prestasinya mengembangkan bati Bakaran, Bukhari memperoleh penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah ketika itu, berupa Biasana Bhakti Upapradana. Bukhari terpilih sebagai pelestari budaya untuk tingkat Provinsi Jawa Tengah. Tak hanya itu, pada tahun 1998 ia diusulkan untuk menerima penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto. Namun karena negara sedang mengalami masa transisi, yakni lahirnya era reformasi, penghargaan yang akan diberikan terkendala dan akhirnya dibatalkan. Penghargaan ini, akhirnya kembali menghampirinya pada tahun 2008 ini. Dimana Bukhari diajukan kembali untuk menerima Upakarti.
Pria berusia 57 tahun ini pun mengaku, sesungguhnya dia tak memiliki bekal pendidikan tinggi. Jenjang pendidikan yang dilalui memang hanya mentok di tingkat SMP. Impiannya melanjutkan sekolah ke STM di Semarang kandas, lantaran keterbatasan biaya. Hanya sempat menikmati 3 bulan bangku STM, selebihnya dia harus angkat kaki. Sedangkan kemampuannya mengembangkan batik. Tak lepas dari niat dan kemauannya yang keras.
Terlahir sebagai putra ragil dari 12 bersaudara, pasangan (alm) Sutarsih dan (alm) Panggih Rono Dwiryo ini, Bukhari berhasil mewarisi kepiawaian ibundanya menjadi perajin batik. Sebuah ketrampilan yang makin jarang dimiliki warga Pati sendiri kala itu. Sejak mulai dekat dengan batik pada tahun 1977, boleh dibilang dirinya sempat mengalami masa kejayaan. Kendati batik tulis khas Bakaran ini belum banyak modifikasi pewarnaan dan sebagainya. Pengetahuan tentang batik diperoleh hanya berdasar pengalaman turun temurun. Baru sekitar tahun 1983, Pemkab Pati dalam hal ini Dinas Perdagangan dan Peindustrian Kabupaten Pati membekali para perajin dengan berbagai ilmu perbatikan. Termasuk memberikan penyuluhan dan keterampilan melalui diklat-diklat.
Namun, dirinya juga tak habis mengerti, manakala pada 1983, istrinya yang menimba pengalaman dari pemkab ini, justru usahanya tidak mengalami perkembangan. Baru kemudian setelah tahun 1985 Bukhari sendiri yang mengikuti diklat. Dari sini pula dirinya merasa terpacu untuk mengikuti diklat dan bimbingan yang diberikan. Berbekal dari pengetahuan dan kerja kerasnya tersebut, reputasi batik Bakaran akhirnya secara perlahan mulai terangkat. Membaiknya usaha ini mulai terlihat pada tahun 1994. Bahkan saat itu dirinya sudah memiliki 20 orang karyawan.
Atas prestasinya mengembangkan bati Bakaran, Bukhari memperoleh penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah ketika itu, berupa Biasana Bhakti Upapradana. Bukhari terpilih sebagai pelestari budaya untuk tingkat Provinsi Jawa Tengah. Tak hanya itu, pada tahun 1998 ia diusulkan untuk menerima penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto. Namun karena negara sedang mengalami masa transisi, yakni lahirnya era reformasi, penghargaan yang akan diberikan terkendala dan akhirnya dibatalkan. Penghargaan ini, akhirnya kembali menghampirinya pada tahun 2008 ini. Dimana Bukhari diajukan kembali untuk menerima Upakarti.
Pria berusia 57 tahun ini pun mengaku, sesungguhnya dia tak memiliki bekal pendidikan tinggi. Jenjang pendidikan yang dilalui memang hanya mentok di tingkat SMP. Impiannya melanjutkan sekolah ke STM di Semarang kandas, lantaran keterbatasan biaya. Hanya sempat menikmati 3 bulan bangku STM, selebihnya dia harus angkat kaki. Sedangkan kemampuannya mengembangkan batik. Tak lepas dari niat dan kemauannya yang keras.
Langganan:
Postingan (Atom)