02 Oktober 2010
Usaha Batik setelah Setahun Diakui UNESCO (1)
Berkembang di Daerah, Belum Bisa Tembus Ekspor
SM/Mulyanto Ari Wibowo MEWARNAI BATIK: Pengusaha batik lasem Widji Soeharto melakukan pewarnaan di tempat kerjanya kemarin. (46) |
Setahun lalu, batik Indonesia resmi diakui UNESCO.
Produk asli negeri ini masuk daftar representatif sebagai budaya tak benda warisan manusia dalam sidang ke-4 Komite Antarpemerintah di Abu Dhabi, 2 Oktober 2009. Bagaimana para stakeholder’s itu menjaga eksistensi batik di sejumlah daerah di Jateng? Berikut laporan Suara Merdeka.
Batik sudah menjadi warisan budaya yang diakui United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Ada hasil yang cukup signifikan dengan penetapan itu. Namun ada pula tantangan mengadang para perajin batik.
Seorang lelaki berumur 70-an tahun, membuka pintu pagar kayu setinggi dua meter. Dengan ramah, pria yang masih mengenakan baju berlumuran tinta itu mempersilakan masuk rumah kuno berarsitektur campuran China - Eropa di jalan Babagan IV/7 Desa Babagan Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang.
Seusai memasuki halaman rumah yang ditumbuhi dua pohon mangga rimbun, kami dibawa ke teras yang dipasangi tiga buah etalase kaca. Di dalam etalase itu dipajang puluhan lembar kain batik dengan berbagai macam motif. Di setiap kain, tertempel secarik kertas kecil dengan tulisan tangan yang menunjukkan harga jual batik yang dipajang.
Dari mulai yang termurah Rp 175.000 per lembar hingga Rp 3 jutaan per lembar, terpampang di etalase yang selalu terkunci itu.
”Lumayan, meski kecil-kecilan dan terlihat seadanya, setahun ini sudah bisa buat showroom sederhana. Keuntungan sedikit demi sedikit dikumpulkan untuk buat showroom,” jelas Widji Suharto, si empunya rumah.
Pemilik usaha batik lasem cap Padie Boeloe ini menuturkan, setelah penetapan UNESCO, berbagai kalangan mulai menaruh perhatian lebih terhadap batik. Event-event pameran ramai digelar. Orang dari sejumlah daerah juga berburu batik hingga ke Lasem. ”Bahkan, kemudian ada yang menjadi agen penjualan di Jakarta, Bogor hingga Papua. Setahun ini, penjualan cukup lumayanlah,” ujar dia.
Widji bukan satu-satunya pengusaha batik yang mulai agresif memperlebar pasar. Setidaknya, selain showroom batik lasem yang dikelola koperasi pengusaha batik di Lasem, di kecamatan tersebut kini ada tiga ruang pamer yang dikelola secara profesional. Ketiga ruang pamer itu yaitu Batik Kuda milik Purnomo di Jalan Raya Pantura Lasem, Batik Pusaka Beruang milik Santosa, dan Surya Kencana milik Sri Susiloningsih.
Pengusaha batik yang belum bisa mendirikan showroom, juga berusaha agresif dengan cara memasang papan-papan nama di jalan-jalan strategis sebagai petunjuk menuju rumah sang pengusaha.
Ketua Koperasi Batik Lasem Santosa mengakui, dalam setahun ini perkembangan batik memang luar biasa. Namun, dia juga mengaku masih banyak tantangan bagi pengusaha batik lasem. ”Sampai saat ini belum ada entrepreneur batik lasem yang bisa menembus pasar ekspor,” kata pemilik usaha batik lasem cap Pusaka Beruang ini.
Selain itu, tantangan perkembangan batik ke depan adalah melonjaknya bahan baku kain. Setahun ini, harga kain mori sebagai bahan utama batik terus mengalami kenaikan. Untuk kain katun jenis prima yang semula harga per yard (90 cm) hanya Rp 5.400, naik menjadi Rp 6.400. Jenis primis dari Rp 8.750 menjadi Rp 9.250. Jenis kereta kencana, dari Rp 14.864 menjadi Rp 16.486. ”Tahun ini, kenaikan bahan utama batik mencapai 10 persen. Kenaikan kain mori ini dikarenakan bahan baku kain dari negara penghasil kapas seperti India sudah dikontrak China,” papar dia.
Meski harga kain mori mulai melonjak, pengusaha tidak berani menaikkan harga kain batik lasem. Bila nekat, pengusaha khawatir pasar batik yang sedang mulai berkembang ini akan lari tunggang langgang. ”Namun bila tidak dinaikkan, ongkos produksi kami juga mulai naik. Selain kain, pembatik juga banyak yang minta kenaikan upah,” tandas Widji.
Lain halnya dengan batik bakaran asal Juwana, Kabupaten Pati. Perkembangan batik tulis bakaran, belakangan ini cenderung stagnan. Setelah kebangkitannya pada 2000, hingga saat ini grafik pergerakan produksi, dan pemasarannya mentok pada titik yang bisa jadi belum maksimal dibanding era puncak kebangkitan, empat tahun lalu.
Keberadaan batik tulis khas Pati terangkat sejak “tertidur” sekian lama. Konon, batik bakaran dulunya dipasarkan keliling dari pasar ke pasar di seputaran Bumi Minta Tani. Namun, seiring perkembangannya, warisan budaya leluhur itu mampu menembus berbagai kalangan hingga menaikkan produksinya.
Memberi Dukungan
Kebijakan Pemkab Pati memberi dorongan tersendiri bagi geliat perkembangan batik bakaran. Dengan diwajibkannya pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemkab Pati mengenakan pakaian batik dua kali sepekan, menjadi angin segar bagi perkembangannya.
Pergerakan usaha batik tulis yang tersentral di Kecamatan Juwana, khususnya Desa Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon, setelah sekian lama tidak banyak berubah. Meskipun terangkat dengan pasar PNS, minim sekali perajin yang mau bergelut dengan canting.
Potensi tambak dan hasil laut yang dianggap lebih menjanjikan penghasilan masyarakat pesisir Juwana tampaknya berpengaruh pada ketertarikan mereka mewarisi karya budaya leluhur.
Pada perkembangannya, batik bakaran tidak lepas dari jargon Bumi Mina Tani. Itu tergambar dari motif yang terbentuk, baik yang orisinel maupun modifikasi. Bukan hanya hasil bumi (kopi dan kedelai) yang terpola dalam kain batik, torehan lilin seakan juga mengekspresikan hasil laut, seperti udang, dan ikan. Semuanya tergambar dari sejumlah motif asli dan hasil kreasi perajin generasi belakangan.
Setidaknya ada 21 motif batik tulis bakaran yang selama ini diklaim asli oleh pelaku batik di Juwana. Aneka motif tersebut delapan di antaranya telah mendapat pengakuan dari Depkum HAM Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen Haki), tahun lalu adalah blebak kopik, rawan, liris, kopi pecah, truntum, gringsing, sidomukti, sidorukun, dan limaran.
Mulanya, pengajuan tersebut untuk perorangan, tetapi Haki mencatatnya sebagai hak cipta Pemkab Pati lantaran dinilai milik bersama. Adapun 13 motif lainnya yang masih dalam proses pemeriksaan lebih lanjut dari pihak terkait antara lain, manggaran, adas gempal, bregat ireng, kedele kecer, merak ngigel, magel ati, blebak urang, blebak lung, nam tikar, truntum, blebak duri, ungker cantel, dan puspo baskoro.
Alasan klise permodalan, dianggap menjadi pangadang perkembangan usaha rumahan batik. Mereka hanya mampu berproduksi ketika uang penjualannya telah kembali. Kondisi demikian secara tidak langsung menempatkan batik sebagai usaha sambilan, selain melaut, bertambak, bekerja di tempat pengolahan ikan, atau bertani. Setidaknya hanya tinggal lima perajin yang masih berproduksi. Empat di antaranya di Bakaran Kulon dan sisanya di Bakaran Wetan.
Sebut saja Darmi (45). Pemilik usaha batik tulis Srikandi asal Desa Bakaran Kulon itu, kesulitan modal sehingga usahanya cenderung jalan di tempat. Meskipun puluhan produknya dalam sepekan sering diambil sales untuk dipasarkan ke luar daerah, namun modalnya pas-pasan.
“Kalau membuat batik sih bisa dikebut, tetapi modal kami kurang jadi susah. Kalau soal pemasaran sebenarnya tidak ada masalah, asal tidak menjual terlalu mahal bisa laku,” kata pembatik yang memiliki 10 pekerja itu.
Kendati produknya asli batik tulis tanpa bantuan cap (pencetak motif), harga yang ditawarkan terjangkau. Dia mematok batik motif asli maupun kreasi pada kisaran Rp 90.000 hingga Rp 125.000. Lain halnya dengan pemilik batik tulis Tjokro Bukhari (59). Pria asal Bakaran Wetan yang telah bergelut dengan batik sejak 1977 itu, usahanya tergolong lebih besar.
Dia membedakan harga motif orisinel dengan kreasi. Untuk motif kreasi hampir sama dengan perajin lainnya, antara Rp 80.000-Rp 300.000. Adapun motif asli dibanderol kisaran Rp 500.000 hingga jutaan rupiah, bergantung kualitas bahan dan pewarna yang dipesan. Semakin asli atau menggunakan bahan-bahan alami maka harga kian melejit.
Wakil Bupati Kartina Sukawati SE MM pernah menggagas pembentukan cluster batik tulis. Namun, pengorganisasian para perajin tidak berjalan baik sehingga pihaknya kesulitan membantu permodalan.
Sejauh ini yang bisa dilakukan hanya melindungi hak cipta dengan terus mengupayakan pengajuan motif batik yang masih tercecer ke Ditjen Haki. Kesempatan mengenalkan batik ke luar daerah, bahkan luar negeri juga sering dilakukan dengan mengikutsertakan perajin ke sejumlah event pameran, mulai dari lokal, Semarang hingga ke Jakarta.
“Kalau tidak ada kendala kami akan mendorong pendirian pusat produk khas Pati yang ada di Juwana untuk membantu pemasaran. Tetapi itu butuh dukungan dari semua pihak, termasuk perajin untuk mau bersatu,” tandasnya.
Motif batik dari Pekalongan, harus diakui sudah berkembang pesat mengikuti perkembangan zaman. Perajin sudah tidak mempedulikan motif batik dengan pakem kerajaan, tetapi yang dikembangkan adalah motif yang memiliki nilai bisnis tinggi. ”Kalau motif batik tertentu laris, maka mereka membuat terus sampai selera konsumen menurun. Pada prinsipnya, perajin Pekalongan itu hanya memproduksi sesuai dengan selera masyarakat,” kata tokoh batik Pekalongan, H Fatchurohman Noor yang ditemui di rumahnya kemarin.
Untuk itu, tidak aneh jika batik-batik yang dibuat masyarakat Pekalongan berbeda dengan daerah lain. Adapun ciri-ciri batik Pekalongan, adalah memiliki warna yang ngejreng (mencolok), dan motifnya kontemporer (mengikuti perkembangan zaman).
Karena berkembang kekinian, maka para perajin berusaha bisa membatik dengan motif apa pun. Motif Belanda, Jepang, China, Jawa ataupun motif dari dalam negeri seperti batik papua, batik banyumasan, cirebonan, batik yogya, dan batik solo, semuanya bisa dibuat di Pekalongan.
”Pembatik Pekalongan itu luar biasa. Dalam keadaan terpaksa pun, mereka bisa memiliki ide membuat batik dengan motif baru,” katanya.
Tanggapan Positif
Pemilik Nulaba Batik Pekalongan itu mengakui, batik pekalongan merupakan peninggalan nenek moyang. Masyarakat pun juga nguri-uri batik itu hingga berkembang saat ini. Karena itu, tidak aneh jika pengakuan batik Indonesia sebagai warisan tak benda oleh UNESCO pada 2 Oktober lalu mendapat tanggapan positif masyarakat di Kota Batik.
Dia mengaku sangat mencintai batik, karena sebagai satu-satunya usaha yang digelutinya dan merupakan warisan orang tuanya. Pengakuan UNESCO itu, sedikit banyak memang berpengaruh pada kecintaan masyarakat pada batik. Apalagi belakangan ini, pemerintah juga selalu mendorong rakyatnya memakai pakaian batik. Bahkan pakaian batik kini juga dinyatakan sebagai pakaianan nasional yang mendorong perkembangan batik meningkat pesat.
Menurut dia, agar batik tetap lestari, maka semua pihak harus andil nguri-uri budaya warisan nenek moyang itu. Caranya, perajin, pemerintah, dan masyarakat harus bersatu. Sebab, kenyataan di lapangan, perkembangan batik itu, juga akan berdampak kesejahteraan masyarakatnya mengingat industri batik bisa menyerap tenaga kerja yang banyak dan lain-lain.
Perajin batik, menurut dia, juga bukan hanya pengusaha batik tulis atau cap saja, namun batik printing dan sablon diharapkan juga ikut peduli. Sebab, perkembangan batik printing itu tidak lepas budaya batik pada saat itu. Kita harus mengakui, batik printing itu mengambil beberapa motif batik. Karenanya, untuk melestarikan batik, semua pihak harus terlibat, tidak terkecuali batik printing.
Mengenai upaya pelestarian batik itu, Fatchurohman mengakui, di Pekalongan sudah dilakukan dengan pendirian Museum Batik. Penerapan muatan lokal batik mulai dari SD, SMP, bahkan membuka Jurusan Batik di SMK Negeri 3 Pekalongan dan dilanjutkan Jurusan Batik di Politeknik Pusmanu Pekalongan.
Kemudian juga dilakukannya kegiatan tahunan berupa pekan batik Nusantara dan berbagai kegiatan yang mendorong makin dikenalnya batik di tingkat nasional maupun internasional.
Dari masyarakat sendiri juga sudah membentuk organisasi berupa Paguyuban Pencinta Batik yang selalu menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam mempertahankan batik. Dengan demikian, batik bisa berkembang di Pekalongan dan sekitarnya. Untuk itulah, upaya melestarikan batik, jangan hanya dibebankan pada pemrintah saja, namun masyarakat dan perajin itu sendiri, sehingga batik tetap berkembang di Pekalongan. (Mulyanto Ari Wibowo, M Noor Efendi, Chandra Iswinarno, Trias Purwadi-20)