Majalah Srinthil
Mbah Asrep sudah berusia 55 tahun. Tetapi, meski sudah lewat setengah
abad, matanya masih awas menelusuri garis-garis yang ia bubuhi malam
dengan canting. Mbah Asrep bahkan mengatakan bahwa kini ia merasa lebih
sehat dan baru saja pulang dari Lampung tempat anaknya menetap. Nenek
dengan dua cucu itu, sebelumnya, pernah berhenti dari membatik sejak
suaminya meninggal. Tetapi, penyakit darah tinggi justru menderanya. Ia
kemudian berobat dengan terapi dan setelah penyakitnya berkurang, ia pun
membatik lagi.
Perempuan yang belajar nyanting secara ototidak itu pun kini bekerja
seperti sedia kala. Duduk dilantai berganjal bantal, di lantai yang
dipenuhi malam, dan sesekali terkena asap dari pekerja lainnya yang
sedang memasukkan kain di kuali untuk menghilangkan malam. Di
sebelahnya, ibu-ibu juga sedang menggores malam dengan kuas yang lebih
lebar. Sementara di pojok, tiga orang sedang mengerjakan Lorot,
mereka bergantian memasukkan kain yang sudah dilumuri malam ke dalam
kuali yang mendidih airnya. Lorot fungsinya untuk menghilangkan malam.
Di dalam Griyo Batik Tulis Tjokro, di ruang tengah, terlibat Bu Tini Bukhari,
yang biasa dipanggil Bu Cokro (52) pemilik sekaligus istri penerus Batik
Bakaran sedang sibuk menyetrika. Meski sedang dipotret, tampak ia tak
peduli dengan sambaran blitz. Ia terus saja menyetrika batik-batik yang
hampir selesai diproses itu. Sayangnya, ia tak mau menceritakan sejarah
batik Bakaran, ia merasa tak kompeten dan meminta mewawancarai suaminya, Pak Bukhari, yang sayangnya sedang keluar kota.
Batik Bakaran sebenarnya ada sudah sejak dulu. Tetapi, waktu itu,
batik hanya terbatas untuk jarik saja sehingga pesanannya juga terbatas.
Kini, seiring berubahnya mode, batik berkembang tak sebatas untuk
jarik, batik juga bisa dipakai untuk baju, bahkan, di banyak institusi,
sejak munculnya kesadaran untuk menjadikan batik sebagai ciri bangsa,
tiap hari jum’at di banyak kantor menerapkan wajib batik.
Batik bakaran sendiri sudah sejak lima tahun lalu bangkit. Saat itu,
pemerintah daerah kabupaten Pati mewajibkan pegawainya memakai batik,
yang membuat pesanan ke Griya Tjokro Batik meningkat pesat. Kini, meski
pemerintah Pati tak lagi memakainya, pesanan rutin masih membanjiri
Griya Tjokro.Batik .Hampir setiap hari, batik dikirim ke Jakarta. Biasanya,
untuk pesanan 400 buah, membutuhkan waktu 1,5 bulan.
Di Griya Tjokro Batik itu, total ada 12 pekerja. Meski begitu, Griya
Tjokro masih menampung batik hasil dari orang-orang Bakaran Wetan,
setidaknya, sekitar 70 an ikut menggantungkan hidupnya dari Griya Tjokro. Sejak dipasarkan di Internet, batik Bakaran juga memiliki pangsa
yang semakin meluas.
Batik Tjokro sendiri berdiri sejak 1979. Di Griya Tjokro Pak Bukhari
yang biasanya mendesign coraknya, kemudian Bu Cokro yang mewarnai. Pak Bukhari biasanya membuat motif tiap hari dengan mendesign, menggambar
langsung. Satu design juga tak pasti untuk dipakai berapa karena
tergantung pesanan Satu. Setelah jadi, biasanya dikirimkan ke anaknya
untuk dipasarkan di Internet.
Batik bakaran pernah tiarap di tahun 1998. Waktu itu, Krisis moneter
membuat pengrajin tidak bisa mengambil untung karena harga dasar dengan
harga jual tak sesuai, banyak pembatik yang banting stir mencari usaha
lain. Pernah berhenti saat krismon. “Bayangkan, harga luar negeri naik,
di kirim ke Indonesia, saya tidak terjangkau harga jual sama pembelian
pewarna. Tidak sesuai, “kenang Bu Cokro. Ia kemudian les menjahit.
Selesai les, bu cokro kemudian menerina jahitan. Empat tahun kemudian,
setelah harga mulai stabil lagi, mereka pun melanjutkan membikin batik
lagi. Setelah itu, beberapa penghargaan menghampiri mereka. Di tahun
1994, ia mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah. Di
tahun 2009, pernah mendapat penghargaan upakarti dari Presiden RI.
Bu Tini juga menceritakan perjalanan batiknya. Mulanya, dulu ikut
mertua yang sudah sejak turun temurun membatik di Bakaran. Keluarga Bukhari sendiri adalah keturunan kelima. Bu Tini sendiri, mulanya tidak
mau diajari membatik, tetapi ia dimarahi mertuanya, kata mertuanya,
“Pokoknya harus bisa,” katanya menirukan. Ia pun diajari sampai bisa,
apalagi ia dididik dengan penuh kedisiplinan oleh mertuanya. Setelah
menikah, mereka masih satu rumah dengan mertua. Tujuh tahun kemudian,
barulah mereka membuat rumah. Setelah itu, ia meneruskan ajaran mertua,
mulai membatik kecil-kecilan, dengan modal yang pas-pasan.
Tahun 1985, Bu Cokro pernah sekolah pewarna di Jogja selama satu
setengah bulan. “Saya sekolah di Jogja itu kan mendapat pewarna, saya
mendapat pewarnaan dari masyarakat sekitar. Jadi masyarakat yang
membatik., saya yang warna, jadi, saya mendapat upah warna, seumpama 10
ribu perlembar, obatnya habisnya 8000, untung 2000. Kalau beberapa
lembar kan bisa untuk makan sehari-hari,” paparnya.
Batik Bakaran memiliki motif gurat-gurat pecah seperti pada batik
Wonogiren atau batik tulis khas Wonogiri. Secara lebih rinci lagi, corak
batik di bakaran wetan dan kulon juga berbeda. di Bakaran Wetan cecekan dan garisnya
lebih rajin dan dari remukannya (background pecah) sudah beda. Karena itu, biasanya,
setelah jadi, motifnya ditiru oleh pembatik dari desa lain.
Untuk membuat batik, pertama-tama, kain mori diberi pola. Setelah itu, kain di-sawiti. Selesai di-sawiti, kain kemudian ditembok atau di-blabari. Setelah di-blabari, dikasih warna. Setelah pewarnaan, kain kemudian di-lorot. Dilorot
fungsinya untuk menghilangkan malam. Setelah itu, baru diseterika.
Harganya bervariasi mulai dari 150 hingga 400 ribu berlembar. Harga
tergantung dari jenis kain dan tentu saja batikannya, kalau motifnya
halus dan rumit, biasanya lebih mahal.
Punden Nyai Ageng
Bagi masyarakat Bakaran kemahiran membatik tak lepas dari peran Nyai Ageng. Nyai Ageng alias Siti Sabirah ini kabarnya adalah keluarga dari Majapahit. Ada yang mengatakan, Nyai Ageng bernama asli Danowati. Kala itu, ketika Majapahit hendak diserang pasukan dari kerajaan Demak, bersama kakaknya ia melarikan diri. Dalam pelarian, sampailah mereka di Juwana. Di tempat itulah kemudian, mereka babat alas. Selesai babat, Nyai Danowati kemudian membakar babatannya sehingga nama itu pun kemudian terkenal dengan bakaran.
Setelah Nyai Ageng moksa, ia masih membantu warga dengan memberi warna (medelke) pada setiap kain mori yang ditaruh di sumurnya. Biasanya, setelah diletakkan di sore hari, paginya, warna mori sudah berubah biru. Karena itu pula mungkin muncul mitos, bahwa batik Bakaran itu, “Cek rupane olo lah macem dinggo,” kata Bu Tini. Artinya, meski warnanya jelek sekalipun, tetap pantas untuk dipakai. Masyarakat sekitar juga masih berziarah ke punden Nyai Sabirah terutama Kamis Kliwon atau saat malam Jumat Legi.
Petilasan Nyai Ageng berada di jalan Mangkudipuro, berada di samping persis Kelurahan Bakaran Wetan. Punden Nyai Ageng juga bersebelahan dengan petilasan dari ki Dalang Soponyono. Punden Nyai Ageng, berjarak sekitar dua kilometer dari alun-alun Juwana. Suatu siang, saat Srinthil ke situ, tak ada satupun orang yang sedang berziarah. Tiga penjual bunga di seberang jalan juga hanya duduk-duduk saja karena sepinya. Di Punden Nyai Ageng, di depannya terdapat tempat seperti masjid tetapi tak ada mihrabnya, kabarnya, tempat ini adalah untuk mengelabuhi pasukan Demak. Di banding tempat keramat, punden Nyai Ageng tak menampakkan wajah ‘angker’. Di siang hari, karena berada di pinggir jalan, ramai olah lalu lalang kendaraan.
Meskipun begitu, hingga kini masyarakat di sekitar Bakaran masih patuh atas apa yang dititahkan Nyai Sabirah. Selain soal tradisi membatik yang masih bertahan, mereka juga masih patuh untuk tak menjual nasi. Selain itu, masyarakat Bakaran juga masih ada yang membawa bayinya ke sumur di punden nyai, memutari sumur dan melempar uang ke dalamnya. Sementara, para pengantin juga diarak mengelilingi sumur sebanyak tujuh kali. Masyarakat juga masih percaya bahwa untuk menyelesaikan masalah, mereka bersumpah dengan meminum air sumur. bagi yang salah, mitosnya akan celaka.
Selain itu, orang yang mau berziarah juga tak ada yang berani membawa ingkung (ayam) karena, Nyai ageng tak mau menerima ingkung dan bagi siapa yang membawa ingkung ke situ, ingkungnya akan mentah lagi meski sudah berkali-kali dimasak.
Tiap tanggal 1 Muharram, saat pergantian klambu, di punden Nyai Ageng digelar ketoprak. Tapi lakon yang dimainkan tak pernah mengangkat tema Nyai Ageng, karena suatu ketika, ketika mementaskan ketoprak dengan lakon nyai ageng, kualat. Sementara di bulan besar (Dzulhijjah), di Bakaran juga digelar Wayang. Ramainya punden, biasanya sore ramainya sudah kelihatan. Calon bupati yang mau nyalon pun banyak yang ke sana. Berdoa minta pangestu tetapi yang menang kan cuma satu.
Punden Nyai Ageng
Bagi masyarakat Bakaran kemahiran membatik tak lepas dari peran Nyai Ageng. Nyai Ageng alias Siti Sabirah ini kabarnya adalah keluarga dari Majapahit. Ada yang mengatakan, Nyai Ageng bernama asli Danowati. Kala itu, ketika Majapahit hendak diserang pasukan dari kerajaan Demak, bersama kakaknya ia melarikan diri. Dalam pelarian, sampailah mereka di Juwana. Di tempat itulah kemudian, mereka babat alas. Selesai babat, Nyai Danowati kemudian membakar babatannya sehingga nama itu pun kemudian terkenal dengan bakaran.
Setelah Nyai Ageng moksa, ia masih membantu warga dengan memberi warna (medelke) pada setiap kain mori yang ditaruh di sumurnya. Biasanya, setelah diletakkan di sore hari, paginya, warna mori sudah berubah biru. Karena itu pula mungkin muncul mitos, bahwa batik Bakaran itu, “Cek rupane olo lah macem dinggo,” kata Bu Tini. Artinya, meski warnanya jelek sekalipun, tetap pantas untuk dipakai. Masyarakat sekitar juga masih berziarah ke punden Nyai Sabirah terutama Kamis Kliwon atau saat malam Jumat Legi.
Petilasan Nyai Ageng berada di jalan Mangkudipuro, berada di samping persis Kelurahan Bakaran Wetan. Punden Nyai Ageng juga bersebelahan dengan petilasan dari ki Dalang Soponyono. Punden Nyai Ageng, berjarak sekitar dua kilometer dari alun-alun Juwana. Suatu siang, saat Srinthil ke situ, tak ada satupun orang yang sedang berziarah. Tiga penjual bunga di seberang jalan juga hanya duduk-duduk saja karena sepinya. Di Punden Nyai Ageng, di depannya terdapat tempat seperti masjid tetapi tak ada mihrabnya, kabarnya, tempat ini adalah untuk mengelabuhi pasukan Demak. Di banding tempat keramat, punden Nyai Ageng tak menampakkan wajah ‘angker’. Di siang hari, karena berada di pinggir jalan, ramai olah lalu lalang kendaraan.
Meskipun begitu, hingga kini masyarakat di sekitar Bakaran masih patuh atas apa yang dititahkan Nyai Sabirah. Selain soal tradisi membatik yang masih bertahan, mereka juga masih patuh untuk tak menjual nasi. Selain itu, masyarakat Bakaran juga masih ada yang membawa bayinya ke sumur di punden nyai, memutari sumur dan melempar uang ke dalamnya. Sementara, para pengantin juga diarak mengelilingi sumur sebanyak tujuh kali. Masyarakat juga masih percaya bahwa untuk menyelesaikan masalah, mereka bersumpah dengan meminum air sumur. bagi yang salah, mitosnya akan celaka.
Selain itu, orang yang mau berziarah juga tak ada yang berani membawa ingkung (ayam) karena, Nyai ageng tak mau menerima ingkung dan bagi siapa yang membawa ingkung ke situ, ingkungnya akan mentah lagi meski sudah berkali-kali dimasak.
Tiap tanggal 1 Muharram, saat pergantian klambu, di punden Nyai Ageng digelar ketoprak. Tapi lakon yang dimainkan tak pernah mengangkat tema Nyai Ageng, karena suatu ketika, ketika mementaskan ketoprak dengan lakon nyai ageng, kualat. Sementara di bulan besar (Dzulhijjah), di Bakaran juga digelar Wayang. Ramainya punden, biasanya sore ramainya sudah kelihatan. Calon bupati yang mau nyalon pun banyak yang ke sana. Berdoa minta pangestu tetapi yang menang kan cuma satu.