Kamis, 26 April 2012

Para Penerus Nyai Sabirah

6th January 2012 | Ingwuri Handayani
Majalah Srinthil

Mbah Asrep sudah berusia 55 tahun. Tetapi, meski sudah lewat setengah abad, matanya masih awas menelusuri garis-garis yang ia bubuhi malam dengan canting. Mbah Asrep bahkan mengatakan bahwa kini ia merasa lebih sehat dan baru saja pulang dari Lampung tempat anaknya menetap. Nenek dengan dua cucu itu, sebelumnya, pernah berhenti dari membatik sejak suaminya meninggal. Tetapi, penyakit darah tinggi justru menderanya. Ia kemudian berobat dengan terapi dan setelah penyakitnya berkurang, ia pun membatik lagi.
Perempuan yang belajar nyanting secara ototidak itu pun kini bekerja seperti sedia kala. Duduk dilantai berganjal bantal, di lantai yang dipenuhi malam, dan sesekali terkena asap dari pekerja lainnya yang sedang memasukkan kain di kuali untuk menghilangkan malam. Di sebelahnya, ibu-ibu juga sedang menggores malam dengan kuas yang lebih lebar. Sementara di pojok, tiga orang sedang mengerjakan Lorot, mereka bergantian memasukkan kain yang sudah dilumuri malam ke dalam kuali yang mendidih airnya. Lorot fungsinya untuk menghilangkan malam.
Di dalam Griyo Batik Tulis Tjokro, di ruang tengah, terlibat Bu Tini Bukhari, yang biasa dipanggil Bu Cokro (52) pemilik sekaligus istri penerus Batik Bakaran sedang sibuk menyetrika. Meski sedang dipotret, tampak ia tak peduli dengan sambaran blitz. Ia terus saja menyetrika batik-batik yang hampir selesai diproses itu. Sayangnya, ia tak mau menceritakan sejarah batik Bakaran, ia merasa tak kompeten dan meminta mewawancarai suaminya, Pak Bukhari, yang sayangnya sedang keluar kota.
Batik Bakaran sebenarnya ada sudah sejak dulu. Tetapi, waktu itu, batik hanya terbatas untuk jarik saja sehingga pesanannya juga terbatas. Kini, seiring berubahnya mode, batik berkembang tak sebatas untuk jarik, batik juga bisa dipakai untuk baju, bahkan, di banyak institusi, sejak munculnya kesadaran untuk menjadikan batik sebagai ciri bangsa, tiap hari jum’at di banyak kantor menerapkan wajib batik.
Batik bakaran sendiri sudah sejak lima tahun lalu bangkit. Saat itu, pemerintah daerah kabupaten Pati mewajibkan pegawainya memakai batik, yang membuat pesanan ke Griya Tjokro Batik meningkat pesat. Kini, meski pemerintah Pati tak lagi memakainya, pesanan rutin masih membanjiri Griya Tjokro.Batik .Hampir setiap hari, batik dikirim ke Jakarta. Biasanya, untuk pesanan 400 buah, membutuhkan waktu 1,5 bulan.
Di Griya Tjokro Batik itu, total ada 12 pekerja. Meski begitu, Griya Tjokro masih menampung batik hasil dari orang-orang Bakaran Wetan, setidaknya, sekitar 70 an ikut menggantungkan hidupnya dari Griya Tjokro. Sejak dipasarkan di Internet, batik Bakaran juga memiliki pangsa yang semakin meluas.
Batik Tjokro sendiri berdiri sejak 1979. Di Griya Tjokro Pak Bukhari yang biasanya mendesign coraknya, kemudian Bu Cokro yang mewarnai. Pak Bukhari biasanya membuat motif tiap hari dengan mendesign, menggambar langsung. Satu design juga tak pasti untuk dipakai berapa karena tergantung pesanan Satu. Setelah jadi, biasanya dikirimkan ke anaknya untuk dipasarkan di Internet.
Batik bakaran pernah tiarap di tahun 1998. Waktu itu, Krisis moneter membuat pengrajin tidak bisa mengambil untung karena harga dasar dengan harga jual tak sesuai, banyak pembatik yang banting stir mencari usaha lain. Pernah berhenti saat krismon. “Bayangkan, harga luar negeri naik, di kirim ke Indonesia, saya tidak terjangkau harga jual sama pembelian pewarna. Tidak sesuai, “kenang Bu Cokro. Ia kemudian les menjahit. Selesai les, bu cokro kemudian menerina jahitan. Empat tahun kemudian, setelah harga mulai stabil lagi, mereka pun melanjutkan membikin batik lagi. Setelah itu, beberapa penghargaan menghampiri mereka. Di tahun 1994, ia mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah. Di tahun 2009, pernah mendapat penghargaan upakarti dari Presiden RI.
Bu Tini juga menceritakan perjalanan batiknya. Mulanya, dulu ikut mertua yang sudah sejak turun temurun membatik di Bakaran. Keluarga Bukhari sendiri adalah keturunan kelima. Bu Tini sendiri, mulanya tidak mau diajari membatik, tetapi ia dimarahi mertuanya, kata mertuanya, “Pokoknya harus bisa,” katanya menirukan. Ia pun diajari sampai bisa, apalagi ia dididik dengan penuh kedisiplinan oleh mertuanya. Setelah menikah, mereka masih satu rumah dengan mertua. Tujuh tahun kemudian, barulah mereka membuat rumah. Setelah itu, ia meneruskan ajaran mertua, mulai membatik kecil-kecilan, dengan modal yang pas-pasan.
Tahun 1985, Bu Cokro pernah sekolah pewarna di Jogja selama satu setengah bulan. “Saya sekolah di Jogja itu kan mendapat pewarna, saya mendapat pewarnaan dari masyarakat sekitar. Jadi masyarakat yang membatik., saya yang warna, jadi, saya mendapat upah warna, seumpama 10 ribu perlembar, obatnya habisnya 8000, untung 2000. Kalau beberapa lembar kan bisa untuk makan sehari-hari,” paparnya.
Batik Bakaran memiliki motif gurat-gurat pecah seperti pada batik Wonogiren atau batik tulis khas Wonogiri. Secara lebih rinci lagi, corak batik di bakaran wetan dan kulon juga berbeda. di Bakaran Wetan cecekan dan garisnya lebih rajin dan dari remukannya (background pecah) sudah beda. Karena itu, biasanya, setelah jadi,  motifnya ditiru oleh pembatik dari desa lain.
Untuk membuat batik, pertama-tama, kain mori diberi pola. Setelah itu, kain di-sawiti. Selesai di-sawiti, kain kemudian ditembok atau di-blabari. Setelah di-blabari, dikasih warna. Setelah pewarnaan, kain kemudian di-lorot. Dilorot fungsinya untuk menghilangkan malam. Setelah itu, baru diseterika. Harganya bervariasi mulai dari 150 hingga 400 ribu berlembar. Harga tergantung dari jenis kain dan tentu saja batikannya, kalau motifnya halus dan rumit, biasanya lebih mahal.

Punden Nyai Ageng
Bagi masyarakat Bakaran kemahiran membatik tak lepas dari peran Nyai Ageng. Nyai Ageng alias Siti Sabirah ini kabarnya adalah keluarga dari Majapahit. Ada yang mengatakan, Nyai Ageng bernama asli Danowati. Kala itu, ketika Majapahit hendak diserang pasukan dari kerajaan Demak, bersama kakaknya ia melarikan diri. Dalam pelarian, sampailah mereka di Juwana. Di tempat itulah kemudian, mereka babat alas. Selesai babat, Nyai Danowati kemudian membakar babatannya sehingga nama itu pun kemudian terkenal dengan bakaran.
Setelah Nyai Ageng moksa, ia masih membantu warga dengan memberi warna (medelke) pada setiap kain mori yang ditaruh di sumurnya. Biasanya, setelah diletakkan di sore hari, paginya, warna mori sudah berubah biru. Karena itu pula mungkin muncul mitos, bahwa batik Bakaran itu, “Cek rupane olo lah macem dinggo,” kata Bu Tini. Artinya, meski warnanya jelek sekalipun, tetap pantas untuk dipakai. Masyarakat  sekitar juga masih berziarah ke punden Nyai Sabirah terutama Kamis Kliwon atau saat malam Jumat Legi.
Petilasan Nyai Ageng berada di jalan Mangkudipuro, berada di samping persis Kelurahan Bakaran Wetan. Punden Nyai Ageng juga bersebelahan dengan petilasan dari ki Dalang Soponyono. Punden Nyai Ageng, berjarak sekitar dua kilometer dari alun-alun Juwana. Suatu siang, saat Srinthil ke situ, tak ada satupun orang yang sedang berziarah. Tiga penjual bunga di seberang jalan juga hanya duduk-duduk saja karena sepinya. Di Punden Nyai Ageng, di depannya terdapat tempat seperti masjid tetapi tak ada mihrabnya, kabarnya, tempat ini adalah untuk mengelabuhi pasukan Demak. Di banding tempat keramat, punden Nyai Ageng tak menampakkan wajah ‘angker’. Di siang hari, karena berada di pinggir jalan, ramai olah lalu lalang kendaraan.
Meskipun begitu, hingga kini masyarakat di sekitar Bakaran masih patuh atas apa yang dititahkan Nyai Sabirah. Selain soal tradisi membatik yang masih bertahan, mereka juga masih patuh untuk tak menjual nasi. Selain itu, masyarakat Bakaran juga masih ada yang membawa bayinya ke sumur di punden nyai, memutari sumur dan melempar uang ke dalamnya. Sementara, para pengantin juga diarak mengelilingi sumur sebanyak tujuh kali. Masyarakat juga masih percaya bahwa untuk menyelesaikan masalah, mereka bersumpah dengan meminum air sumur. bagi yang salah, mitosnya akan celaka.
Selain itu, orang yang mau berziarah juga tak ada yang berani membawa ingkung (ayam) karena, Nyai ageng tak mau menerima ingkung dan bagi siapa yang membawa ingkung ke situ, ingkungnya akan mentah lagi meski sudah berkali-kali dimasak.
Tiap tanggal 1 Muharram, saat pergantian klambu, di punden Nyai Ageng digelar ketoprak. Tapi lakon yang dimainkan tak pernah mengangkat tema Nyai Ageng, karena suatu ketika, ketika mementaskan ketoprak dengan lakon nyai ageng, kualat. Sementara di bulan besar (Dzulhijjah), di Bakaran juga digelar Wayang. Ramainya punden, biasanya sore ramainya sudah kelihatan. Calon bupati yang mau nyalon pun banyak yang ke sana. Berdoa minta pangestu tetapi yang menang kan cuma satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar