[ Radar Kudus Minggu, 11 Oktober 2009 ]
Kesulitan Mencari Pembatik
Adanya peresmian batik dari Unesco sebagai kebudayaan asli Indonesia berdampak pada permintaan pesanan batik. Namun, semua pesanan tidak mampu dilakukan oleh Bukhari, pemilik batik Tjokro dari Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana. Disebabkan apa?
RIS ANDY KUSUMA, Pati-Hampir setiap hari rumah berada jalan Mangkudipuro, No 196 Desa Bakaran Wetan tidak pernah sepi dari pemesanan batik. Padahal, tahun 1998 lalu sempat menutup usaha batik yang ditekuni sejak tahun 1975.
Pria penerima penghargaan Byasana Bhakti Upapradana dari Gubernur Jateng pada 1994 dan Upakarti kategori Pelestari Budaya dari Presiden RI tahun 2008 ini setiap hari harus melayani permintaan antara 25-30 pesanan. Namun, kapasitas produksi yang dimiliki hanya 20 batik saja.
"Itu pun bukan batik yang kuno, batik yang sudah mengalami modifikasi. Sehingga, pesanan harus menunggu dulu yang lebih lama daripada biasanya," ungkap suami Tini, kemarin.
Pesanan tidak berhenti, lanjutnya, mulai sebelum lebaran tiba. Menjelang lebaran kemarin, dia mengaku, sudah tidak melayani pesanan mengingat keterbatasan tenaga yang dimiliki.
Usaha yang dijalani ini, Bukhari mengaku saat ini telah memiliki sekitar 50 pekerja. Namun, tidak semua pekerjanya setiap hari yang full time bekerja untuk membatik di tempatnya.
"Namanya orang hidup di desa ini mempunyai sosial yang tinggi, terkadang para pekerja ini ada yang saudara atau tetangganya yang punya kerja, pekerja tidak bisa membatik. Rata-rata setiap harinya ada separonya saja," paparnya.
Rata-rata pembatik yang bekerja ditempatnya usianya memang bukan usia yang muda. Dia mengatakan, kesulitan mencari pembatik yang bisa bekerja secara full time untuk dapat melayani pesanan.
Sehingga, jumlah pesanan dengan kapasitas produksinya dapat sama. Para pencinta batik tidak perlu lagi lama menunggu pesanan. Sementara ini, dia mengaku, tidak melayani pesanan batik bakaran yang kuno, karena memakan waktu yang lebih lama.
Selain itu, batik bakaran kuno kurang begitu diminati mengingat harga batiknya sangat mahal dibandingkan dengan biasa. "Prosesnya yang lebih rumit menjadikan harganya lebih mahal," tandasnya. (*)
Adanya peresmian batik dari Unesco sebagai kebudayaan asli Indonesia berdampak pada permintaan pesanan batik. Namun, semua pesanan tidak mampu dilakukan oleh Bukhari, pemilik batik Tjokro dari Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana. Disebabkan apa?
RIS ANDY KUSUMA, Pati-Hampir setiap hari rumah berada jalan Mangkudipuro, No 196 Desa Bakaran Wetan tidak pernah sepi dari pemesanan batik. Padahal, tahun 1998 lalu sempat menutup usaha batik yang ditekuni sejak tahun 1975.
Pria penerima penghargaan Byasana Bhakti Upapradana dari Gubernur Jateng pada 1994 dan Upakarti kategori Pelestari Budaya dari Presiden RI tahun 2008 ini setiap hari harus melayani permintaan antara 25-30 pesanan. Namun, kapasitas produksi yang dimiliki hanya 20 batik saja.
"Itu pun bukan batik yang kuno, batik yang sudah mengalami modifikasi. Sehingga, pesanan harus menunggu dulu yang lebih lama daripada biasanya," ungkap suami Tini, kemarin.
Pesanan tidak berhenti, lanjutnya, mulai sebelum lebaran tiba. Menjelang lebaran kemarin, dia mengaku, sudah tidak melayani pesanan mengingat keterbatasan tenaga yang dimiliki.
Usaha yang dijalani ini, Bukhari mengaku saat ini telah memiliki sekitar 50 pekerja. Namun, tidak semua pekerjanya setiap hari yang full time bekerja untuk membatik di tempatnya.
"Namanya orang hidup di desa ini mempunyai sosial yang tinggi, terkadang para pekerja ini ada yang saudara atau tetangganya yang punya kerja, pekerja tidak bisa membatik. Rata-rata setiap harinya ada separonya saja," paparnya.
Rata-rata pembatik yang bekerja ditempatnya usianya memang bukan usia yang muda. Dia mengatakan, kesulitan mencari pembatik yang bisa bekerja secara full time untuk dapat melayani pesanan.
Sehingga, jumlah pesanan dengan kapasitas produksinya dapat sama. Para pencinta batik tidak perlu lagi lama menunggu pesanan. Sementara ini, dia mengaku, tidak melayani pesanan batik bakaran yang kuno, karena memakan waktu yang lebih lama.
Selain itu, batik bakaran kuno kurang begitu diminati mengingat harga batiknya sangat mahal dibandingkan dengan biasa. "Prosesnya yang lebih rumit menjadikan harganya lebih mahal," tandasnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar