Kamis, 12 November 2009
Kabar dari Jawa Pos
Senin, 09 November 2009
Upaya Bukhari Melestarikan Batik Bakaran
Adanya peresmian batik dari Unesco sebagai kebudayaan asli Indonesia berdampak pada permintaan pesanan batik. Namun, semua pesanan tidak mampu dilakukan oleh Bukhari, pemilik batik Tjokro dari Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana. Disebabkan apa?
RIS ANDY KUSUMA, Pati-Hampir setiap hari rumah berada jalan Mangkudipuro, No 196 Desa Bakaran Wetan tidak pernah sepi dari pemesanan batik. Padahal, tahun 1998 lalu sempat menutup usaha batik yang ditekuni sejak tahun 1975.
Pria penerima penghargaan Byasana Bhakti Upapradana dari Gubernur Jateng pada 1994 dan Upakarti kategori Pelestari Budaya dari Presiden RI tahun 2008 ini setiap hari harus melayani permintaan antara 25-30 pesanan. Namun, kapasitas produksi yang dimiliki hanya 20 batik saja.
"Itu pun bukan batik yang kuno, batik yang sudah mengalami modifikasi. Sehingga, pesanan harus menunggu dulu yang lebih lama daripada biasanya," ungkap suami Tini, kemarin.
Pesanan tidak berhenti, lanjutnya, mulai sebelum lebaran tiba. Menjelang lebaran kemarin, dia mengaku, sudah tidak melayani pesanan mengingat keterbatasan tenaga yang dimiliki.
Usaha yang dijalani ini, Bukhari mengaku saat ini telah memiliki sekitar 50 pekerja. Namun, tidak semua pekerjanya setiap hari yang full time bekerja untuk membatik di tempatnya.
"Namanya orang hidup di desa ini mempunyai sosial yang tinggi, terkadang para pekerja ini ada yang saudara atau tetangganya yang punya kerja, pekerja tidak bisa membatik. Rata-rata setiap harinya ada separonya saja," paparnya.
Rata-rata pembatik yang bekerja ditempatnya usianya memang bukan usia yang muda. Dia mengatakan, kesulitan mencari pembatik yang bisa bekerja secara full time untuk dapat melayani pesanan.
Sehingga, jumlah pesanan dengan kapasitas produksinya dapat sama. Para pencinta batik tidak perlu lagi lama menunggu pesanan. Sementara ini, dia mengaku, tidak melayani pesanan batik bakaran yang kuno, karena memakan waktu yang lebih lama.
Selain itu, batik bakaran kuno kurang begitu diminati mengingat harga batiknya sangat mahal dibandingkan dengan biasa. "Prosesnya yang lebih rumit menjadikan harganya lebih mahal," tandasnya. (*)
Minggu, 08 November 2009
Batik Bakaran Mendapatkan Hak Paten dari Haki
pasfmpati.com (Pati, Kota)
Hasil karya batik tulis asal Bakaran Kecamatan Juwana, tidak dapat diklaim patenkan milik perseorangan. Justru hak paten dari Dirjen Hak Atas Kekayaan Intelektual [HAKI], memasukkan motif – motif batik khas bakaran tersebut, dalam daftar inventaris kekayaan budaya asal Kabupaten Pati.
Untuk mendapatkan hak paten dari Dirjen HAKI, Pemkab Pati membutuhkan waktu selama 2 tahun. Motif batik bakaran yang kini telah mendapatkan hak paten itu, sebelumnya telah didaftarkan sejak tahun 2006 lalu, dengan menggunakan dana dari APBD Kabupaten Pati.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindag) Kabupaten Pati Ir Pratiknyo kepada PAS Pati menjelaskan, sejak tahun 2006 lalu sebenarnya ada 22 motif batik khas bakaran yang diajukan atau didaftarkan untuk mendapatkan hak paten. Tapi baru pada dua bulan lalu, hak paten itu, turun.
“Itu sudah lama, sudah hampir dua tahunan lebih. Seluruhnya ada 22 motif batik khas bakaran yang kita usulkan ke Dirjen HAKI. Tapi yang baru mendapat baru 9. Lainnya masih dalam penelitian, jangan – jangan didaerah lain, ada motif yang sama. Jadi prosesnya kan lama ya.”, jelas Ir Pratiknyo.
Langkah Pemkab Pati untuk mematenkan batik khas bakaran tersebut, selain untuk melindungi para perajin batik dari klaim orang lain, juga sebagai khasanah budaya, yang dimiliki Kabupaten Pati. Tapi dalam penjualan produknya, Kepala Disperindag Ir Pratiknya berharap, para perajin tetap menggunakan cap Pemkab Pati. “Nanti tetap capnya pakai cak Kabupaten Pati. Jadi kalau belum dipatenkan itu kawatirnya, saat kita produksi kemudian ketangkap Polisi kemudian diakui orang lain, kan gitu.”, jelas Ir Pratiknyo.
Kesembilan motif batik khas Bakaran Juwana yang telah mendapat pengakuan dengan mengantongi hak paten dari Dirjen HAKI diantaranya, motif batik gringsing, limaran, sidorukun, rawan, liris, sidomukti, Truntum, kopi pecah, dan bledak kopik.
Bukhari yang sebelumnya sebagai pengrajin (Batik Tulis Tjokro) ke 22 motif itu mempersilahkan motif itu menjadi milik pemkab Pati. Sebab selama ini dia hanya berusaha melestarikan batik yang diwariskan para canggah secara turun temurun kepadanya.
Kamis, 13 Agustus 2009
Kabar Dari Kompas 13 Agustus 2009
BATIK BAKARAN
Perempuan-perempuan Penerus Nyi Danowati
Kamis, 13 Agustus 2009 | 05:24 WIB
HENDRIYO WIDI
Miyati (50), warga Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, sudah sejak kecil membatik. Namun, ia tidak pernah berpikir mendirikan usaha batik sendiri lantaran tidak ada modal.
Miyati yang berasal dari keluarga nelayan dan buruh tani itu lebih senang membatik ikut orang. Maka tidak mengherankan jika ia selalu berpindah-pindah tuan atau bahkan tidak bekerja karena tidak ada lowongan membatik.
Terakhir kali, terhitung sejak 15 tahun lalu, ibu beranak dua itu bekerja di industri batik rumah tangga ”Tjokro” milik Bukhari Wiryo Satmoko (58), generasi kelima pembatik tulis bakaran. Ia mensyukuri berkat keterampilan membatik itu perekonomian keluarganya tidak tertatih-tatih.
”Coba kalau tidak punya keterampilan itu, saya tidak akan bisa membantu suami menghidupi keluarga,” kata istri buruh ngedos atau panen padi yang mendapatkan upah Rp 30.000 per hari, Minggu (19/4) di Juwana.
Dalam sebulan, Miyati mengantongi pendapatan rata-rata Rp 900.000. Hasil membatik itu ia gunakan untuk menyekolahkan anak dan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Parmi (48), warga Desa Bakaran Wetan, mengakui pula kalau membatik itu meringankan tanggungan ekonomi keluarga. Istri buruh serabutan itu semula tidak bekerja atau menjadi ibu rumah tangga saja.
Situasi perekonomian keluarga Parmi tidak karuan lantaran suaminya kadang kala mendapat pekerjaan, tetapi kadang tidak. Dalam sebulan, suaminya rata-rata bekerja selama 15-20 hari saja. ”Pendapatannya per hari Rp 25.000-Rp 30.000. Hasil itu sangat pas-pasan bahkan kerap tidak cukup untuk membiayai sekolah anak dan hidup sehari-hari,” kata ibu tiga anak itu.
Kondisi tersebut memaksa Parmi kembali menekuni batik yang dahulu pernah dilakukan saat kecil. Ia bekerja di industri rumah tangga batik Tjokro sejak tiga tahun lalu.
Meski harus bersusah payah mengingat kembali keterampilan yang dahulu pernah digelutinya, Parmi tidak pernah putus asa. Anak-anak menjadi semangat Parmi untuk menggulati batik. ”Tidak ada setengah tahun, saya sudah diangkat sebagai karyawan harian. Pasalnya, hasil batikan saya dinilai bagus dan rapi,” kata Parmi.
Keterampilan membatik tulis bakaran di Desa Bakaran Wetan itu punya sejarah yang melegenda. Keterampilan itu tak lepas dari buah didikan Nyi Danowati, penjaga museum pusaka dan pembuat seragam prajurit pada akhir Kerajaan Majapahit abad ke-14.
Waktu itu, Kerajaan Majapahit yang diperintah Girindrawardhana yang bergelar Brawijaya VI (1478-1498) berada dalam desakan Kerajaan Demak yang menganut Islam. Sejumlah pengikut Brawijaya yang menganut Hindu-Buddha memilih hengkang dari Majapahit karena tidak mau masuk Islam.
Salah satu pengikut Brawijaya itu adalah Nyi Danowati. Bersama tiga saudaranya, yaitu Ki Dukut, Kek Truno, dan Ki Dalang Becak, perempuan yang konon berparas ayu itu pergi menyusuri pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Nyi Danowati dan dua saudaranya berpisah dengan Ki Dalang Becak. Ia melanjutkan perjalanan hingga ke kawasan rawa-rawa yang penuh pohon druju atau sejenis semak berduri, sedang Ki Dalang Becak menetap di Tuban.
Bersama Ki Dukut, Nyi Danowati membuka lahan di daerah rawa-rawa itu sebagai tempat tiras pandelikan atau tempat persembunyian. Lantaran Ki Dukut itu seorang lelaki, ia mampu membuka lahan yang sangat luas, sedangkan lahan Nyi Danowati sempit.
Tak kurang akal, Nyi Danowati mengadakan perjanjian dengan Ki Dukut. Ia meminta sebagian lahan Ki Dukut dengan cara menentukan batas lahan melalui debu hasil bakaran yang terjatuh di jarak terjauh.
Ki Dukut menyetujui usulan itu. Jadilah kawasan Nyi Danowati lebih luas sehingga sebagian kawasan diberikan kepada Kek Truno yang tidak mau babat alas. Daerah milik Nyi Danowati dinamai Bakaran Wetan, sedang milik Kek Truno bernama Bakaran Kulon.
Adapun Ki Dukut yang kawasannya sangat sempit itu menamakan daerah itu Pedukuhan Alit atau Dukutalit. Ketiga desa itu sampai sekarang tetap ada dan saling berbatasan satu dengan yang lain. Secara lebih luas lagi, kawasan itu dikenal sebagai Drujuwana (hutan druju) atau Juwana.
Di Bakaran Wetan itulah Nyi Danowati membangun permukiman baru. Sejumlah warga yang semula tidak mau menempati daerah berawa-rawa itu mulai tertarik membangun permukiman di sekitar rumah Nyi Danowati.
Agar tidak dicurigai orang bahwa ia pemeluk agama Hindu-Buddha, Nyi Danowati mengubah nama menjadi Nyai Ageng Siti Sabirah. Ia juga mendirikan masjid tanpa mihrab yang disebut Sigit. Di pendopo dan pelataran Sigit itulah Nyi Danowati mengajar warga membatik.
Pengusaha batik ”Tjokro” sekaligus sesepuh masyarakat Desa Bakaran Wetan, Bukhari, mengatakan, motif batik yang diajarkan Nyi Danowati adalah motif batik majapahit. Misalnya, sekar jagat, padas gempal, magel ati, dan limaran.
”Motif khusus yang diciptakan Nyi Danowati sendiri adalah motif gandrung. Motif itu terinspirasi dari pertemuan dengan Joko Pakuwon, kekasihnya, di tiras pandelikan,” katanya.
Bukhari mengisahkan, waktu itu Joko Pakuwon berhasil menemukan Nyi Danowati. Kedatangan Joko Pakuwon membuat Nyi Danowati yang sedang membatik melonjak gembira sehingga secara tidak sengaja tangan Nyi Danowati mencoret kain batik dengan canting berisi malam.
Coretan itu membentuk motif garis-garis pendek. Di sela-sela waktunya, Nyi Danowati menyempurnakan garis-garis itu menjadi motif garis silang yang melambangkan kegandrungan atau kerinduan yang tidak terobati.
”Pasalnya, Nyi Danowati tahu Joko Pakuwon tidak perjaka lagi atau berselingkuh saat ia pergi meninggalkan Majapahit,” kata Bukhari.
Menurut Bukhari, motif-motif khas itu perlu mendapat perlakuan khusus dalam pewarnaan. Pewarnanya pun harus menggunakan bahan-bahan alami. Misalnya, kulit pohon tingi yang menghasilkan warna coklat, kayu tegoran warna kuning, dan akar kudu warna sawo matang.
Sayangnya, bahan-bahan pewarna itu sudah sulit ditemui. Hal itu terjadi sejak zaman kakek Bukhari, Turiman Tjokro Satmoko, generasi ketiga batik tulis bakaran. Waktu itu, batik bakaran menjadi komoditas perdagangan antarpulau melalui Pelabuhan Juwana dan menjadi tren pakaian para pejabat Kawedanan Juwana.
”Meskipun kesulitan bahan pewarna, batik tulis bakaran banyak peminat. Kondisi itu menyebabkan permintaan tenaga kerja cukup besar. Kakek saya dapat menggandeng sekitar 50 ibu rumah tangga untuk membatik,” kisah Bukhari.
Kini, batik tulis bakaran dikembangkan empat pengusaha, satu pengusaha di Bakaran Wetan, dan tiga yang lain di Bakaran Kulon. Setiap pengusaha rata-rata menggandeng 50 karyawan yang berasal dari ibu-ibu rumah tangga atau remaja putus sekolah.
Selain melestarikan motif Nyi Danowati, mereka juga mengembangkan aneka macam motif kontemporer, antara lain motif pohon druju (juwana), gelombang cinta, kedele kecer, jambu alas, dan blebak urang. Harga per kain batik Rp 100.000-Rp 1,5 juta.
Sabtu, 18 Juli 2009
New Motif Mass Product
Motif : Lung Kupu (Tulis)
Motif: Simetris (Proses Cap Lilin)
Motif: Bledak Kepiting
Motif: Bunga (Proses Cap Lilin)
Motif: Bledak (Aplikasi Gendongan)
Motif: Irengan
Motif : Udan Mas
Motif : Sampek Intai
Motif : Kembang Bakung
Motif : Manuk Glatik
Motif : Kembang Mlati
Motif : Kembang Matahari
Motif : Njuono
Motif : Cucak Rowo
Selasa, 28 April 2009
Berita Dari Kompas 21 April 2009
Bukhari, Mengembangkan Batik Bakaran
Rabu, 21 April 2009
Oleh HENDRIYO WIDI
Pada tahun 1975, batik bakaran nyaris hilang dari peredaran pasar tradisional. Pasalnya, Sutarsih yang berusia 86 tahun, satu-satunya generasi keempat pembatik bakaran, tak mampu lagi membatik. Namun, Bukhari, putra ke-12 Sutarsih, yang mewarisi kemampuan membatik, berusaha keras menjadikan batik bakaran kembali ”bermasa depan”. Bukhari Wiryo Satmoko, nama lengkap pria yang lahir di Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ini tidak sekadar mengembalikan batik bakaran di peredaran pasar tradisional, tetapi sampai ke pasar nasional dan internasional.
Dia memang akrab dengan batik. Sejak masih duduk di kelas III Sekolah Rakyat, Bukhari kerap dianggap suka ngrusuhi atau mengganggu ibunya yang sedang membatik.
Saat sang ibu beristirahat, Bukhari kecil mengambil canting dan melanjutkan motif batik di kain yang dikerjakan ibunya. Bukannya menjadi rangkaian batik yang indah, motif-motif karya Bukhari itu tidak berbentuk dan malam batiknya mblobor.
Kejadian itu terus berulang hingga sang ibu sering marah. Namun, dari waktu ke waktu sang ibu pun bisa melihat bahwa hasil lanjutan motif Bukhari semakin baik. Bahkan, Bukhari kerap menelurkan motif lain yang berbeda dengan pakem batik bakaran.
”Saya mulai jarang membatik bersama Ibu setelah duduk di Sekolah Teknik Juwana. Soalnya, lebih asyik mengutak-atik mesin ketimbang canting he-he,” kenangnya.
Kondisi itu berjalan hingga Bukhari duduk di STM 2 Semarang. Namun, baru dua bulan di sekolah itu, dia harus pulang ke rumah dan tak lagi melanjutkan sekolah. Ia harus menjaga ibunya yang sakit keras karena seorang kakak Bukhari meninggal tertimpa paku bumi.
Sang ibu tak memperkenankan Bukhari melanjutkan sekolah teknik karena takut kejadian serupa menimpa putra bungsunya itu. Peristiwa itulah yang kembali mendekatkan Bukhari dengan cinta pertamanya, batik.
Mengajari istri
Tahun 1975 ia menikah dengan Tini. Untuk menghidupi keluarga, Bukhari mengerjakan tambak. Ia mengajari istrinya membatik dan berharap Tini tak sekadar menjadi ibu rumah tangga, tetapi turut menopang ekonomi rumah tangga.
Pada tahun-tahun itu pula Desa Bakaran Wetan krisis generasi pembatik bakaran. Sejak sakit, ibunda Bukhari tak lagi membatik. Bukhari memanfaatkan situasi ”genting” itu dengan mengembangkan batik bersama istrinya.
”Semula saya memproduksi dua kain batik per bulan dan menjualnya di pasar tradisional. Waktu itu harganya masih murah, Rp 3.000-Rp 8.000 per lembar,” ujar Bukhari, generasi kelima pembatik bakaran.
Menurut dia, meski tak selaris saat Juwana menjadi pelabuhan besar pada zaman para kakek-buyut, masyarakat tetap meminati batik bakaran. Bahkan, sejumlah orang yang mengira batik bakaran sudah tak lagi diproduksi mengaku kaget bisa menemukannya.
”Mereka mendatangi rumah saya untuk memesan batik. Dari waktu ke waktu pesanan bertambah sehingga batik bakaran tenar kembali,” katanya.
Agar batik bakaran lebih dikenal luas, Bukhari memberi merek batiknya ”Tjokro”. Ia mengambil nama kakeknya, Turiman Tjokro Satmoko. Alasannya, pada era Tjokro, batik bakaran menjadi komoditas perdagangan di Pelabuhan Juwana dan menjadi tren pakaian para pejabat Kawedanan Juwana.
Tenaga kerja
Lonjakan permintaan pasar pada era 1980-an itu menyebabkan Bukhari menambah tenaga kerja dari dua orang menjadi 20 pembatik. Tenaga pembatik itu berasal dari para ibu rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya.
Menurut Bukhari, para ibu rumah tangga itu tak mempunyai pekerjaan tetap ketika ditinggal suaminya melaut, bertani, atau mburuh di kota-kota lain. Dengan membatik, mereka dapat menambah penghasilan keluarga Rp 15.000-Rp 30.000 per hari.
”Sebagian kecil di antara mereka sudah bisa membatik, sedangkan yang lain harus diajari lebih dulu,” kata penerima penghargaan Byasana Bhakti Upapradana dari Gubernur Jateng pada 1994 ini.
Pada tahun 1998 Bukhari terpaksa menutup usaha batik dan memberhentikan para pekerjanya. Industri rumah tangga batik yang dia kembangkan mulai dari nol itu terkena imbas krisis moneter.
Alasannya, saat itu harga bahan
”Usaha itu saya tutup selama dua tahun. Baru pada tahun ketiga saya mulai memproduksi batik lagi dalam skala kecil dibantu istri dan seorang pembatik,” katanya.
Tahun 2006 Bukhari mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Pati untuk melestarikan dan meningkatkan pemasaran batik bakaran. Pemkab Pati menerima usulan itu dengan menggalakkan program pemakaian batik bagi pegawai negeri sipil (PNS) pada hari-hari tertentu.
Program itu meningkatkan pemasaran batik bakaran di daerah Pati sekaligus juga di luar Pati. Melalui promosi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pati dan gethok tular para pembeli, batik bakaran kembali bangkit.
Bukhari bisa mempunyai tenaga kerja harian dan borongan sebanyak 52 orang. Mereka mampu memproduksi 400-600 lembar batik bakaran per bulan. Tak mengherankan jika omzet Bukhari mencapai Rp 40 juta–Rp 60 juta per bulan. Pemasaran batik produknya tak hanya di Pati, tetapi sampai ke
Melestarikan legenda
Sukses Bukhari melestarikan batik bakaran dan meningkatkan perekonomian warga sekitar berdampak pula pada kelestarian legenda tentang batik bakaran. Melalui legenda itu, tradisi manganan atau makan bersama terus berkembang dan menjadi salah satu sarana menjalin keguyuban warga.
Bukhari memaparkan, sejarah batik bakaran terkait erat dengan kisah Nyi Danowati atau Nyai Ageng Siti Sabirah, penjaga pusaka dan pengurus seragam Kerajaan Majapahit akhir abad ke-14. Ia datang ke Desa Bakaran untuk mencari tempat persembunyian karena dikejar-kejar prajurit Kerajaan Demak.
Dalam penyamarannya di Desa Bakaran, Nyi Danowati membuat langgar tanpa mihrab yang disebut Sigit, dan sampai kini menjadi pepunden, tempat warga menggelar tradisi manganan. Di halaman Sigit itulah Bukhari mengajar membatik kepada warga sekitar.
Menurut dia, motif batik Nyi Danowati yang masih berkembang hingga kini adalah motif sekar jagad, gandrung, padas gempal, magel ati, dan limaran. Motif-motif itu mirip dengan motif batik dari Jawa Timur.
Dahulu, pewarna batik motif itu menggunakan bahan-bahan alami. Misalnya, kulit pohon tingi yang menghasilkan warna coklat, kayu tegoran untuk warna kuning, dan akar kudu sebagai pewarna sawo matang.
”Sayangnya, bahan-bahan itu sudah sulit didapat,” kata Bukhari.
Selain motif-motif bakaran kuno, Bukhari juga mengembangkan motif kontemporer berdasarkan kekhasan daerah dan tren yang dilihatnya berkembang di masyarakat. Misalnya, motif gelombang cinta, juwana, begisar, kembang rowo, peksi papua, pohon druju, dan jambu alas.
Rabu, 01 April 2009
Selasa, 10 Maret 2009
Proses Pembuatan Batik Tulis Khas Bakaran
Batik Tulis merupakan batik yang spesial dan mahal dibanding jenis batik yang lain, karena didalam pembuatan batik ini sangat diperlukan keahlian serta pengalaman, ketelitian, kesabaran, ketekunan, ketelatenan dan juga waktu yang lama untuk menyelesaikan sebuah batik tulis. Untuk sebuah batik tulis paling cepat dapat diselesaikan selama dua sampai tiga minggu oleh seorang pembatik, itupun dikarenakan cuaca yang cerah dan desain motif yang biasa dan juga tidak terlalu rumit.
Berikut ini adalah alat dan bahan yang harus disiapkan untuk membuat batik tulis :
1. Kain Mori
Biasa terbuat dari katun atau sutra yang mempunyai warna dasar putih.
2. Canting sebagai alat pembentuk motif
Terbuat dari tembaga yang dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat menampung lilin dan di ujung belakangnya disambung dengan sebuah bambu kecil yang digunakan sebagai pegangan sehingga canting dapat digunakan untuk melukis pada sebuah kain mori.
3. Gawangan dan Bandul
Gawangan terbuat dari bambu atau kayu yang diujung kiri dan kanannya dikasih kaki dari bahan bambu/kayu juga sehingga membentuk sebuah gawang yang berfungsi untuk menyampirkan kain mori tatkala mau dilukis dengan canting dan fungsi bandul disini untuk memberi pemberat supaya kain tidak terbang ketika terkena angin.
4. Lilin atau Malam
Lilin adalah malam yang dicairkan yang digunakan untuk melukis pada sebuah kain mori yang bertujuan untuk menutup kain mori sesuai motif yang diinginkan agar tidak terkena pewarna pada saat kain mori diwarnai sehingga kain yang tertutup lilin akan membentuk motif yang diinginkan pada saat lilin dihilangkan..
5. Panci dan kompor kecil untuk memanaskan lilin (malam)
Panci biasanya terbuat dari bahan aluminium dan kompor kecil berbahan bakar minyak tanah, karena minyak tanah sekarang langka bisa diganti kompor LPG kecil atau kalau mau kembali ke masa lalu memakai kayu bakar.
6. Larutan pewarna
Larutan pewarna bisa berasal dari sintetis atau alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Adapun tahapan-tahapan dalam proses pembutan batik tulis adalah sebagai berikut :
1. Langkah pertama adalah membuat desain atau motif batik yang biasa disebut “molani”. Dalam penentuan motif, biasanya tiap orang memiliki selera berbeda-beda.
2. Setelah selesai melakukan molani, langkah kedua adalah melukis dengan lilin (malam) menggunakan canting dengan mengikuti pola tersebut, pada proses ini gawangan dipakai untuk menyampirkan kain mori yang sedang dilukis menggunakan canting, proses ini biasa disebut “ngengkreng” yang artinya melukis lilin ke kain untuk yang pertama kalinya.
3. Proses selanjutnya mengisi motif atau ornamen-ornamen yang telah dibuat pada proses sebelumnya, proses ini biasa disebut “isen-isen”,isen-isen dapat dibedakan dua jenis yaitu “cecek” dan “sawut”, yang dimaksud cecek adalah titik-titik kecil yang membentuk sebuah ornamen dan sawut adalah garis yang diulang-ulang untuk menutup sebuah ornamen yang nantinya akan diwarna sogan (coklat gosong).
4. Tahap selanjutnya, menutupi dengan lilin (malam) pada bagian-bagian yang akan tetap berwarna putih (tidak berwarna), proses ini biasa disebut “nembok”. Canting untuk bagian halus, atau kuas untuk bagian berukuran besar (penggunaan kuas untuk mempercepat proses). Tujuannya adalah supaya saat pencelupan bahan kedalam larutan pewarna, bagian yang diberi lapisan lilin tidak terkena.
5. Tahap berikutnya adalah proses “medhel”, proses ini adalah pewarnaan pertama pada bagian yang tidak tertutup oleh lilin dengan mencelupkan kain tersebut pada warna biru tua.
6. Setelah selesai dicelupkan, kain tersebut di jemur dan dikeringkan (pengeringan cukup diangin-anginkan di tempat yang teduh tidak terkena sinar matahari langsung).
7. Setelah proses diatas selesai kemudian dilakukan proses “ngerok” dan “ngremok”, yang dimaksud ngerok adalah proses pengerokan pada ornamen sawut yang nantinya dilakukan pewarnaan sogan dengan menggunakan pisau atau benda logam yang ujungnya tipis dan agak tajam, kemudian dilanjutkan proses ngremok yaitu mengucek atau mencuci bagian yang telah dikerok agar bersih dari lilin.
8. Setelah kering, kembali melakukan proses pembatikan yaitu melukis dengan lilin (malam) menggunakan canting untuk menutup bagian ornamen cecek dan ornamen lain yang akan tetap dipertahankan pada pewarnaan yang pertama, proses ini biasa disebut “mbironi” yang artinya menutup untuk mempertahankan warna biru.
9. Setelah selesai proses mbironi kemudian dilanjutkan dengan proses “nyoga”pada proses ini dilakukan pencelupan warna sogan yaitu warna coklat tua atau coklat gosong, pada proses ini ornamen sawut dan ornamen yang tidak ditutup dengan lilin yang akan berwarna sogan.
10. Proses berikutnya, menghilangkan lilin (malam) dari kain tersebut dengan cara mencelupkan kain tersebut berulang kali ke dalam air panas diatas tungku sampai lilin benar-benar bersih tidak menempel pada kain, proses ini biasa disebut “nglorot” yang artinya meluruhkan atau menghilangkan lilin dari kain.
11. Setelah kain bersih dari lilin dan kering, dapat dilakukan kembali proses pembatikan dengan penutupan lilin (menggunakan alat canting)untuk menahan warna pertama dan kedua, apabila diinginkan penambahan warna sesuai kombinasi warna yang dibutuhkan. Proses membuka dan menutup lilin (malam) dapat dilakukan berulangkali sesuai dengan banyaknya warna dan kompleksitas motif yang diinginkan.
12. Proses selanjutnya atau proses terakhir adalah “nglorot” kembali, tujuannya adalah untuk menghilangkan lapisan lilin, sehingga motif yang telah digambar sebelumnya terlihat jelas. Proses terakhir adalah mencuci kain batik tersebut dan kemudian mengeringkannya dengan menjemurnya sebelum dapat digunakan dan dipakai.
Selasa, 03 Februari 2009
Alamat Workshop & Outlet :
Griya Batik Tulis Bakaran “Tjokro”